Sabtu, 02 Maret 2013

Hukum dagang


Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.

Perkembangan Hukum Dagang di Dunia

Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .

Tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hukum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan

Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan .

KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran

Selama ini definisi hukum dagang hanya mengacu pada beberapa pendapat sarjana hukum, seperti berikut ini: (1). Soekardono, mengatakan hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPerdata. (2). HMN. Purwosutjipto, mengatakan hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. (3). Achmad Ichsan, mengatakan hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan atau perniagaan. (4). Fockema Andreae (Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia), mengatakan hukum dagang atau Handelsrecht adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauhmana diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan.

HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB I RUANG LINGKUP HUKUM DAGANG INTERNASIONAL)
A. Pendahuluan
Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini cukup luas. Hubungan–hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi ) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung cepat. Batas-batas Negara bukan lagi menjadi halangan dalam bertransaksi. Ada beberapa motif atau alasan mengapa Negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak abad ke 17. salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang ( pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku Bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu Bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya ( sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia). Esensi untuk bertransaksi dagang ini merupakan dasar filosofis dari munculnya perdagangan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa berdagang ini merupakan suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom). Dengan kebebasan ini, siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum dan lain-lain. Piagam hak-hak dan kewajiban Negara (charter of economic right and duties of state) juga mengakui bahwa setiap Negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional.
B. Definisi Hukum Dagang Internasional
Walaupun perkembangan bidang hukum berjalan dengan cepat, namun ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum dagang internasional ini. Hanya dewasa ini terdapat berbagai definisi mengenai hukum dagang internasional yang satu sama lain berbeda.
1. Definisi Schmitthoff
Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai ;” ….the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations
Dari definisi tersebut tampak unsur-unsur sebagai berikut :
1) hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda Negara. Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial, artinya Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (private law nature ) dan hukum publik.
Dalam definisinya, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum dagang internasional tidak termasuk hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Dengan kata lain Schmitthoff menegaskan bahwa wilayah hukum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan-hubungan komersial, misalnya aturan-aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan-aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan-aturan yang mengatur komoditi, dan lain sebagainya. Dari latar belakang definisi tersebut berdampak pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum dagang internasional seperti :
a. jual beli dagang internasional, yang meliputi pembentukan kontrak, mengatur tentang perwakilan-perwakilan dagang, pengaturan penjualan eksklusif;
b. surat-surat berharga;
c. hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional;
d. asuransi;
e. pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut udara dan perairan pedalaman;
f. hak milik industri;
g. arbitrase komersial
2. Definisi M. Rafiqul Islam
Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan (financial relations). Hubungan financial terkait erat dengan perdagangan internasional. Keterkaitan erat ini tampak karena hubungan-hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter trade). Dengan adanya keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan keuangan (international trade and finance law), Rafiqul Islam mendefinisikan hukum perdagangan dan keuangan sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktik yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan komersial yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau conflict of law; perdagangan antar pemerintah atau antar Negara yang diatur oleh hukum internasional publik. Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi batasan perdagangan internasional sebagai : “……. A wide ranging, transnational, commercial exchange of goods and services between individual business persons, trading bodies and states”. Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum perdagangan internasional sangat luas. Karena ruang lingkup kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekwensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda.
3. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lain yang mencoba memberi batasan bidang hukum dagang internasional
adalah Sanson, seorang sarjana dari Australia. Hukum Perdagangan Internasional
menurut definisi Sanson adalah :” … Can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the exchange of goods, services and technology between nations
Sanson tidak menyebut secara jelas bidang hukum dagang internasional ini jatuh ke bidang hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Meskipun Sanson memberi definisi yang mengambang, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini kedalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public international trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law). Public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antar Negara. Sementara itu private international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan di Negaranegara yang berbeda.
4. Definisi Hercules Booysen
Booysen seorang sarjana dari Afrika selatan tidak memberikan definisi secara tegas. Booysen menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. Oleh karena itu upaya untuk membuat definisi bidang hukum termasuk hukum perdagangan internasional sangatlah sulit dan jarang tepat. Oleh karena itu upayanya untuk memberi definisi, Booysen hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut Booysen ada tiga unsur, yaitu :
1. hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law may also be regarded as a specialized branch of international law).
2. hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) (International trade law can be described as those rules of international law which are applicable to trade in goods, services and the protection of intellectual property).
3. hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum.
C. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
Di bagian awal tulisan ini tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional. Luasnya bidang cakupan dalam hukum perdagangan internasional membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya, misalnya dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial internasional, dan lain-lain. Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain, khususnya hukum ekonomi internasional. Sementara itu pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini adalah dengan melihat subjek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasional lebih banyak mengatur subjek hukum yang bersifat publik, sedangkan hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat. Dalam kenyataannya, pendapat tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur subjek-subjek hukum publik atau Negara, namun aturan-aturan tersebut bagaimanapun juga akan berdampak pada individu atau subjek-subjek hukum lainnya dalam wilayah suatu
Negara. Karakterisitk lain dari hukum perdagangan internasional adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan laut). Hal ini membutuhkan bantuan dari pemahaman disiplin ilmu pelayaran.
D. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional
Menurut Profesor Alexander Goldstajn ada tiga prinsip dalam Hukum Perdagangan Internasional, yaitu :
1. Prinsip dasar Kebebasan berkontrak
Prinsip kebebasan berkontrak sebenarnya merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum dalam hukum dagang mengakui kebebasan para pihak untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan berkontrak ini dengan menyatakan :
The autonomy of the parties will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,”. No objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy
Kebebasan ini mencakup bidang hukum yang cukup luas, meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang disepakati oleh para pihak. Dalam prinsip kebebasan berkontrak ini termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya serta mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak yang dibuatnya. Sudah barang tentu kebebasan ini tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh masing-masing system hukum.
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
Prinsip Pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini berlaku secara universal.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase
Arbitrase dalam perdagangan internasional adalah merupakan forum penyelesaian sengketa yang umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Goldstajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase dijadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional, yaitu :
Moreover to the extent that the settlement of defferences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals aften apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice.Futher, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive
to ap preference for arbitration”
4. Prinsip Dasar Kebebasan komunikasi (Navigasi)
Disamping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasarnya yang relevan dengan prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasional, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk didalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui media sarana elektronik. Kebebasan komunikasi ini bersifat sangat esensial bagi terlaksananya perdagangan internasional.
Dalam komunikasi untuk maksud berdagang ini, kebebasan para pihak tidak boleh dibatasi oleh system ekonomi, politik atau system hukum.
E. Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade, 1974), yang termuat dalam pembukaannya. Adapun tujuan dari hukum perdagangan internasional adalah :
1. untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik perdagangan nasional yang merugikan Negara lain;
2. untuk meningkatkan volume perdagangan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua Negara;
3. meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
4. meningkatkan lapangan kerja;
5. mengembangkan system perdagangan multilateral;
6. meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.
Meskipun adanya tujuan dalam hukum perdagangan internasional tersebut di atas bagus, namun hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut dapat ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul “penyelamat’ yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum.
Kelemahan spesifik tersebut :
a. hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif.
Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang objektif didalam “memaksakan” Negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataanya, Negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya.
b. Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasive (tidak memaksa). Kelemahan ini sekaligus juga merupakan kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.
F. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
Hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya Negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materiil), perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap, yaitu :
1. Hukum Perdagangan internasional dalam Masa Awal Pertumbuhan
2. Hukum Perdagangan Internasional Yang Dicantumkan dalam hukum Nasional
3. Lahirnya Aturan-aturan Hukum Perdagangan Internasional dan Munculnya
Lembaga-lembaga Internasional yang Mengurusi Perdagangan Internasional













HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB II SUBJEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)
A. Pendahuluan
Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subjek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional.
Dalam hukum perdagangan internasional, yang dimaksud dengan subjek hukum adalah :
1. para pelaku (stakeholders) dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan, dan
2. para pelaku (stakeholders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.
B. Subjek Hukum Perdagangan Internasional
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa subjek hukum dalam hukum perdagangan internasional adalah :
A. Negara
Negara merupakan subjek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Negara merupakan subjek hukum yang paling sempurna, alasannya :pertama, Negara merupakan satu-satunya subjek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, Negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya. Dengan atribut kedaulatannya ini, Negara antara lain berwenang untuk membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subjek hukum lainnya (individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya termasuk perdagangan. Kedua, Negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional didunia misal, WTO, UNCTAD,UNCITRAL. Ketiga, Negara juga bersama-sama dengan Negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan. Keempat, Negara berperan juga sebagai subjek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, Negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Ketika Negara bertransaksi dagang dengan Negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional. Ketika Negara bertransaksi dengan subjek hukum lainnya, hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).
Imunitas Negara
Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan Negara
adalah atribut kedaulatan Negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah
bahwa dengan atribut kedaulatan, Negara memiliki imunitas terhadap pengadilan
Negara lain. Arti imunitas disini adalah bahwa Negara tersebut memiliki hak
untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya.
Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas Negara sebagai berikut :
Savereign immunity is a long established precept of public international law
which requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign”
Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan.
Minimal ada 4 (empat) pembatasan terhadap muatan imunitas suatu Negara, yaitu
pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum internasional mengakui imunitas Negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional juga mensyaratkan Negara-negara untuk bekerjasama dengan Negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain menyatakan bahwa ; … States have the duty to co operate with one another, irrespective of the difference in their political, economic and social system,…
Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa Negara memiliki undang-undang mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas Negaranegara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi ketika suatu Negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan yang mengadili persidangan dan Negara tersebut mematuhinya, Negara tersebut dianggap telah
dengan sukarela menanggalkan imunitasnya. Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasan imunitas ini adalah apabila Negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa Negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya. Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu Negara untuk hadir dihadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun, masalah sesungguhnya dalam kaitannya dengan pembatasan Negara di hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan
putusan pengadilannya. Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik Negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik Negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik. Hukum internasional melarang suatu Negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan suatu Negara asing atau menyita bangunan kedutaan Negara asing. Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-aset yang Negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan public.
B. Organisasi Perdagangan Internasional
Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan peran yang penting. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih Negara guna mencapai tujuan bersama. Untuk mendirikan suatu organisasi internasional, perlu dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional ini termuat tujuan, fungsi dan struktur organisasi perdagangan
internasional yang bersangkutan.
C. Individu
Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Individulah yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh Negara memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.
Di banding dengan Negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subjek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas, karena, pertama, sengketanya hanya dibatasi untuk sengketasengketa di bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.
Kedua, Negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk menjadi anggota konvensi ICSID ( Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini bersifat mutlak. Indonesia telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap konvensi ICSID melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968. Status individu sebagai subjek hukum perdagangan internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki keuatan mengikat seperti halnya hukum nasional. Disebutkan di atas bahwa individu adalah subjek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Subjek hukum lainnya yang
termasuk ke dalam kategori ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.
1. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui sebagai subjek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan financial yang dimilikinya. Dengan kekuatan finansialnya hukum (perdagangan) internasional berupaya mengaturnya.
Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu Negara. Pasal 2 (2) (b) antara lain berbunyi ; …. Transnational corporation shall not intervene is the internal affairs of a host State
Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan ekonomi suatu Negara. Aturan-aturan yang mengontrol aktivitas MNCs memang perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara Negara tuan rumah yang mengharapkanMNCs masuk kedalam wilayahnya dapat memberi kontribusi bagi pembangunan, sementara MNCs bertujuan untuk mencapai target utama perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya. Oleh karena itu, agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.
2. Bank
Seperti individu atau MNCs, bank dapat digolongkan sebagai subjek hukum perdagangan internasional dalam arti terbatas. Bank tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan.
Faktor-faktor yang membuat subjek hukum ini penting adalah :
a. peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.
b. Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di Negara yang penjual dan pembeli.
c. Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum perdagangan internasional, khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional.













HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB III SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)
A. Pendahuluan
Sumber hukum perdagangan internasional merupakan bab yang penting. Dari sumber hukum inilah kita dapat menemukan hukum tersebut yang kemudian diterapkan kepada suatu fakta tertentu dalam perdgangan internasional.
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
Sumber-sumber hukum internasional yang dkenal dalam perdagangan internasional yaitu perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsipprinsip hukum umum dan putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin).
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum yang terpenting.
Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanian multilateral, regional dan bilateral. Perjanjian internasional atau multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (Negara) dan tundak pada aturan hukum internasional. Perjanjian regional adalah kesepakatan-kesepakatan di bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh Negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Suatu perjanjian dikatakan bilateral ketika perjanjian tersebut hanya mengikat dua subjek hukum internasional (Negara atau organisasi internasional).
a. Daya mengikat Perjanjian (Perdagangan Internasional)
Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya perjanjian intenasional pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu Negara apabila Negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya. Ketika suatu Negara telah meratifikasinya, Negara tersebut berkewajiban untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional Negara tersebut. Kadangkala perjanjian internasional membolehkan suatu Negara untuk tidak menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari perjanjian internasional, atau sebaliknya. Salah satu cara lain bagi suatu Negara untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan secara diam-diam, artinya tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrument ratifikasi tersebut didepositokan kepada suatu badan yang berwenang, missal Sekjen PBB), suatu Negara dapat saja mengikatkan dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
b. Isi Perjanjian
Muatan yang terkandung didalam perjanjian perdagangan internasional pada umumnya memuat, hal-hal berikut :
1. Liberalisasi perdagangan
Perjanjian yang memuat liberalisasi perdagangan adalah meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, Negara-negara anggota perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan pengaturan atau kebijakan (Negara) yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran transaksi perdagangan internasional.
2. Integrasi Ekonomi
Perjanjian internasional berupaya mencapai suatu integrasi ekonomi melalui pencapaian kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan bebas (free trade zone), atau bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian seperti ini biasanya memberi kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai tujuan integrasi ekonomi.
3. Harmonisasi Hukum
Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai system hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan)
4. Unifikasi Hukum
Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.
5. Model Hukum dan Legal Guide
Pembentukan model hukum dan legal guide sebenarnya tidak lepas dari upaya harmonisasi. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan disepakati atau diatur. Oleh karena itu, mereka membuat model hukum ini yang sifatnya tidak mengikat.
c. Standar Internasional
Standar internasional adalah norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam perjanjian internasional, yang merupakan syarat penting didalam tata ekonomi internasional, serta syarat suatu Negara untuk berpartisipasi di dalam transaksi ekonomi internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah :
1.) Minimum Standard atau Equitable Treatment
Minimum Standart adalah norma atau aturan dasar yang semua Negara harus taati untuk dapat turut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional. Contoh standar minimum adalah dalam perjanjian-perjanjian dalam bidang perlindungan hak kekayaan intelektual.
2.) Most Favoured Nation Clause
Klausul most favoured nation adalah klausul yang mensyaratkan perlakuan non diskriminasi dari suatu Negara terhadap Negara lain. Menurut Houtte, klausul MNF biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting, yaitu :
a. reciprocal (timbal balik), artinya pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing Negara. Jadi sifatnya timbal balik dan;
b. unconditional (tidak bersyarat), artinya Negara anggota lainnya dalam suatu perjanjian berhak atas perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada Negara ketiga.
3). Equal Treatment
Equal Treatment (perlakuan sama) adalah klausul lainnya yang harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, Negara-negara peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan untuk memberikan perlakuan yang sama satu sama lain.
4). Preferential Treatment
Prinsip ini biasanya diterapkan diantara Negara-negara yang memiliki hubungan politis atau ekonomis. Berdasarkan prinsip ini, suatu Negara dapat saja memberikan perlakuan khusus yang lebih menguntungkan (preferential treatment) kepada suatu Negara daripada kepada Negara lainnya.
d. Resolusi-Resolusi Organisasi Internasional
Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali mengeluarkan keputusan-keputusan berupa resolusi-resolusi yang sifatnya tidak mengikat. Daya mengikat resolusi-resolusi ini biasanya disebut juga sebagai soft law, karena memang Negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum. Akan tetapi, resolusiresolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadangkala juga mengikat.
2. Hukum Kebiasaan Internasional
Sebagai sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para pedaganglah yang mula-mula “menciptakan” aturan hukum yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a) suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak (praktek Negara), b) praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitates).
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Sebenarnya belum ada pengertian yang diterima luas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir, baik dari system hukum nasional maupun hukum internasional.
Sumber hukum ini akan mulai berfungsi ketika hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberikan jawaban atas suatu persoalan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum, termasuk hukum perdagangan internasional.
Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, dan terdapat pula dalam hukum (perdagangan internasional).
4. Putusan-Putusan Badan pengadilan dan Doktrin
Sumber hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum sebelumnya tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional). Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common Law. Statusnya paling tidak sama seperti yang kita kenal dalam system hukum continental, bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk mempertimbangkan. Jadi ada semacam kewajiban yang tidak mengikat bagi badanbadan pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional). Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam bidang hukum dagang internasional). Peran dan fungsinya cukup penting dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum. Doktrin ini penting ketika sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan internasional.
5. Kontrak
Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri.
Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum perdagangan internasional ketika melakukan transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat essensial. Dengan demikian, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan para pihak sangatlah essensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya, yaitu ;
(1) pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan,
(2) status dari kontrak itu
sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsure asingnya, artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu Negara tertentu),
(3) menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan..
6. Hukum Nasional
Peran hukum nasional sebagai sumber hukum perdagangan internasional mulai lahir ketika timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya yurisdiksi (kewenangan) Negara. Kewenangan Negara ini sifatnya mutlak dan eksklusif, artinya apabila tidak ada pengecualian lain, kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat. Yurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu Negara untuk mengatur segala, (a) peristiwa hukum; (b) subjek hukum; (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini, hukum
nasional yang dibuat suatu Negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan,
ketenagakerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor impor suatu produk. Kewenangan atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders) dalam perdagangan intenasional, mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan (dalam hal perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain.













HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB IV PEMASARAN BARANG-BARANG KE LUAR NEGERI)
A. Pendahuluan
Melaksanakan perdagangan luar negeri pada hakekatnya berarti menyelenggarakan fungsi-fungsi marketing (pemasaran) pada tingkat internasional. Salah satu faktor yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa di dalam perdagangan luar negeri, produsen dan konsumen satu sama lainnya dipisahkan oleh batas kenegaraan (geopolitik). Oleh karena itu perlu sekali dicari cara yang tepat dan penetapan saluran yang akan dipergunakan untuk memungkinkan adanya hubungan antara produsen di satu pihak dengan konsumen atau pemakai di lain pihak. Produsen pada umumnya merupakan pihak yang aktif dalam usahanya melaksanakan pemasaran barang yang dihasilkan kepada konsumen, tetapi sebaliknya bukan hal yang mustahil pula jika konsumen yang bertindak aktif mencari barang yang dibutuhkannya dengan cara mendekati sendiri produsen dari barang yang dibutuhkan.
B. Cara-Cara Pemasaran Barang Ke Luar Negeri
Lazimnya produsenlah yang biasanya bertindak aktif, maka dipandang dari sudut produsen terutama dalam melaksanakan pemasaran barang-barang ke luar negeri, produsen dapat menempuh beberapa cara yang dapat digolongkan dalam 2 golongan, yaitu :
1. cara pemasaran langsung
Dengan cara pemasaran langsung dimaksudkan produsen menyelenggarakan sendiri pemasaran hasil produksinya itu ke luar negeri, dalam arti di samping sebagai produsen, ia juga bertindak sebagai eksportir pula. Oleh karena itu di samping tugasnya sebagai produsen, maka ia pun berkewajiban dan bertanggungjawab menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut :
a. Menyiapkan barang sampai menjadi barang siap untuk diekspor (ready for
export). Antara lain melakukan penyortiran, pengepakan, penyimpanan di gudang, menyelenggarakan pengangkutan ke pelabuhan.
b. Mencari sendiri pembeli di luar negeri.
c. Melakukan urusan pengapalan barang (shipping).
d. Menyelesaikan formalitas ekspor sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e. Melakukan penutupan asuransi.
f. Menyiapkan dokumen pengapalan (shipping document)
g. Mengurus sendiri penyelesaian pembayaran dan lain-lain yang
bersangkutan dengan pelaksanaan ekspor.
h. Menyelenggarakan after sales service (perawatan barang yang telah dijual)
Dengan cara pemasaran langsung ini produsen bertanggungjawab atas keseluruhan transaksi ini mulai dari mempersiapkan barang itu sampai barang tersebut diterima oleh konsumen, bahkan adakalanya masih bertanggungjawab sekalipun barang itu sudah dalam kekuasaan dan menjadi milik konsumen, misalnya keharusan menyelenggarakan after sales service.
2. cara pemasaran tidak langsung
Selain dari itu dalam melaksanakan pemasaran barang ke luar negeri dapat pula ditempuh cara lain, yaitu dengan mempergunakan jasa perantaraan badan usaha lain yang khusus bergerak dalam perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor. Di sini dapat dikemukakan beberapa macam badan usaha yang dapat
dipergunakan oleh produsen dalam melakukan pemasaran hasil produksinya ke luar negeri, atau juga badan usaha yang dapat dipergunakan oleh konsumen untuk menyelenggarakan pembelian kebutuhannya (impor) dari luar negeri.
Badan usaha yang dipergunakan sebagai perantara dalam perdagangan luar negeri
terdiri dari :
a. Ekspor/Impor Merchant
Ekspor/impor merchant atau pedagang impor/ekspor adalah badan usaha baik perorangan maupun badan hukum yang melakukan pembelian barang di dalam negeri atas risiko sendiri untuk dijual ke luar negeri, ataupun melakukan pembelian barang dari luar negeri dan dimasukkan (impor) ke dalam negeri untuk dijual kembali atas risikonya sendiri. Keuntungan bagi produsen memilih memasarkan barangnya dengan dengan cara ini adalah :
1). Produsen tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk keperluan market survey, biaya promosi barangnya (sales promotion cost).
2). Tidak perlu lagi menyediakan aparat khusus untuk menyelenggarakan ekspornya.
3). Tidak perlu lagi menanggung risiko perdagangan luar negeri seperti pelunasan pembayaran dan risiko tuntutan ganti rugi (claims).
b. Confirming House, Export Commission House atau Indent House.
Ekspor/impor Merchant merupakan badan usaha dalam negeri 9nasional0 yang bergerak untuk pemasaran barang di luar negeri. Tetapi sebaliknya ada pula, dimana perusahaan asing yang membuka kantor cabangnya atau mendirikan anak cabang perusahaan di dalam negeri. Kantor cabang atau anak perusahaan luar negeri yang demikian, bekerja atas perintah dan untuk kepentingan kantor induknya yang berada di luar negeri. Pada umumnya kantor-kantor cabang ini melakukan pembelian di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan kantor induknya, ataupun untuk keperluan konsumen di negeri asalnya dengan mendapatkan komisi. Oleh karena itu badan usaha yang demikian bisa disebut sebagai confirming house atau indent house. Oleh karena kantor cabang atau anak perusahaan yang demikian biasanya melakkan pembelian hasil hasil produksi setempat (lokal) yang kemudian diangkut ke negeri asalnya, maka kesempatan ini dapat pula dipergunakan oleh para produsen setempat untuk secara tidak langsung mengekspor hasil
produksinya ke luar negeri baik sebagai transaksi local biasa maupun atas dasar komisi. Berdasarkan uraian tersebut, maka badan usaha ini disebut juga export commission house. Di dalam praktek tidak ada perbedaan yang pokok antara export merchant dan confirming house, sebab kedua badan usaha ini sama bertindak sebagai eksportir. Hanya export merchant bekerja dan lebih mengutamakan kepentingan produsen sebab keuntungan dari export merchant itu, bahkan kelangsungan hidupnya sangat tergantung dari berhasil tidaknya badan usaha itu melaksanakan pemasaran barang yang dihasilkan oleh produsen yang diselenggarakannya itu. Bilamana hubungan antara produsen dengan export merchant itu tidak hanya sebagai principal to principal biasa, tetapi suatu ikatan perjanjian keagenan (agency agreement), maka dalam hal ini export merchant itu juga disebut sebagai export agent. Sebaliknya confirming house bekerja dan bertindak untuk kepentingan konsumen di luar negeri atau kalau dilihat dari sudut kepentingan nasional maka perusahaan ini termasuk perusahaan setempat yang bekerja untuk kepentingan asing.
c. Export/Import Company atau Trading House
Di dalam praktek tidak terdapat perbedan pokok antara badan-badan usaha yang bergerak sebagai perantara dalam perdagangan luar negeri. Sebab tidak jarang suatu badan usaha bertindak dan berfungsi baik sebagai export merchant, commission agent, maupun sebagai importer. Oleh karena itu badan usaha yang bergerak dalam bidang perdagangan luar negeri disebut sebagai perusahaan dagang impor/ekspor atau juga disebut sebagai export dan import company, atau trading house yang melaksankan perdagangan hamper segala macam barang, dan hamper ke setiap Negara dan mempunyai organisasi dan jaringan perdagangan yang tersebar luas.









HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (TEORI DUMPING)

Pesatnya dinamika perkembangan perdagangan Internasional menyisakan sejumlah permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan Internasional itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengkristal menjadi hambatan yang dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan yang harmonis dalam hubungan perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan internasional antarnegara, komitmen dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair merupakan tuntutan sangat penting yang tidak boleh diabaikan. Masalah terbesar yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi adalah justru terkait dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya praktik dagang yang tidak sehat (unfair trade practices) dalam melaksanakan aktivitas perdagangn Internasional.
Salah satu diantara bentuk praktek tidak sehat dalam perdagangan Internasional adalah dumping dan penerima subsidi negara. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan dumping dan subsidi negara? Apakah dumping akan menyebabkan kerugian? Bagaimana cara menanggulangi adanya kemungkinan praktek perdagangan tidak sehat seperti dumping? Dalam bab ini akan dijabarkan satu persatu mengenai dumping dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar seputar dumping.
Dumping adalah suatu keadaan dimana barang-barang yang diekspor oleh suatu Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktek curang yang dapat mengakibatkan distorsi dalam perdagangan Internasional.
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau negara ketiga.
Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negarinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.
Ketika terjadi praktek dumping, akibat yang kemudian muncul tidak selalu merugikan. Bahkan sering juga terjadi praktek dumping justru merugikan pelaku dumping itu sendiri. Karena harga jual yang terlalu murah tersebut tidak dapat menutupi biaya produksi. Sehingga, dalam kasus seperti ini yang diuntungkan adalah konsumen di Negara dimana praktek dumping itu terjadi. Jadi, yang berbahaya adalah praktek dumping yang menimbulkan kerugian, tepatnya kerugian materil atau material injury bagi produsen lokal. Dumping seperti inlah yang termasuk kedalam persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya, terdapat dua bentuk dumping, yaitu:
  1. Dumping yang bersifat perampasan (predatory dumping)
Yaitu apabila perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan. Setelah mendapatkan pelanggan tetap dan menyingkirkan pesaing, maka harga akan dinaikkan kembali. Hal ini mirip dengan predatory pricing dalam mata kuliah Hukum Persaingan Usaha, yang mana tindakan seperti ini jelas merupakan persaingan usaha yang tidak sehat.
  1. Dumping yang dilakuakn terus-menerus (persistent dumping)
Biasanya bentuk dumping ini tidak dilakukan karena pada dasarnya hanya akan menguntungkan konsumen.
Praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.
Oleh karena dapat merugikan bagi perekonomian Negara, maka dibuatlah seperangkat praturan anti dumping dan antisubsidi untuk melindungi produsen lokal dan tingkat perekonomian negara, aturan-aturan tersebut di Indonesia antara lain:
  1. Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
  2. Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping dan Bea Masuk Imbalan
Sedangkan instrumen perlindungan Internasional terhadap dumping antara lain dalam Pasal VI ayat 1 GATT 1947 yang memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang GATT adalah dumping adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil, baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik.
Menurut John H. Jackson, tidak semua dumping dapat merugikan Negara importir dan menguntungkan Negaranya, bahkan sebaliknya ada dumping yang dapat merugikan produsen sendiri serta menguntungkan konsumen sebab konsumen dapat membeli barang yang murah harganya. Jadi, menurut pasal VI GATT, hanya dumping yang dapat merugikan Negara lain yang dilarang. Dan kerugian itu harus dibuktikan secara objektif sebab tidak semua dumping dapat merugikan negara importir dan menguntungkan negaranya.
Jika suatu Negara terbukti telah menjual harga produknya di bawah harga normal dan menimbulkan kerugian materil, pasal VI ayat 2 GATT mengatur masalah
tentang margin dumping yang dapat diterapkan terhadap produk tersebut. Persetujuan atas implementasi article VI GATT dikenal sebagai Anti-Dumping Agreement (ADA) dimana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip-prinsip dasar dalam Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi, ketentuan dan aplikasi bea anti dumping.
Dalam artikel VI GATT 1994 (pembaharuan GATT 1947), para anggota WTO dapat membebankan/mengenakan anti dumping measures jika setelah investigasi sesuai dengan persetujuan, suatu ketentuan dbuat, yaitu: (a) bahwa dumping sedang terjadi, (b) bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama di negara pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury dan (c) bahwa ada suatu hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara keduanya.
Pada penjabaran-penjabaran sebelumnya disebutkan bahwa praktek dumping menjadi tidak sehat ketika menimbulkan kerugian secara materil. Sebenarnya keadaan yang bagaimanakah yang dapat dikatakan mengalami kerugian materil? Dikatakan terjadi kerugian atau injury apabila faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimpor mengalami kerugian secara materil. Misalnya, penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktivitas, return on investment, atau utilisasi kapasitas, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri, margin dumping, pengaruh negatif pada cash flow, (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemmapuan meningkatkan modal, atau investasi. Tidak kesemua gejala diatas harus dipenuhi kemudian dapat dikatakan sebagai kerugian materil. Satu atau beberapa saja sudah dapat menjadi petunjuk yang mengidentifikasikan adanya kerugian materil.
Hubungan kausalitas adalah hubungan sebab akibat. Penentuan hubungan kasalitas dalam perkara dumping ini sangat diperlukan. Karena, harus dibuktikan adanya hubungan antara kerugian materil yang diderita dengan kegiatan dumping oleh negara lain. Apakah kerugian materil tersebut memang disebabkan karena praktek dumping atau memang ada faktor lain sehingga terjadi kerugian materil tersebut, misalnya saja miss-management.
Hubungan sebab akibat antara dumping dan kerugian materil dapat diketahui dengan menganalisis volume impor dumping dan pengaruh imor dumping ada harga di pasar domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin meningkat, sedangkan pangsa pasar petisioner dan pangsa pasar imor lain semakin menurun, volume impor dumping secara langsung turut mempengaruhi berkurangnya pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor dumping berada dibawah harga petisioner atau memotong harga petisioner, dan atau harga petisioner mempunyai kecendrungan menurun secara terus menerus selama periode tiga tahun karena tekanan harga impor dumping dan atau petisioner tidak dapat menjual harganya di atas biaya produksi, harga impor dumping secara langsung mempengaruhi harga petisioner.
Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 WTO AD Agreement mengatur mengenai pengenaan BMAD. Dalam pasal ini dijelaskan tentang tata cara penentuan besaran BMAD, diantaranya, badan yang berwenang menentukan besaran BMAD.
Di Indonesia, terdapat suatu komite yang menjadi wadah untuk masalah dumping ini. Nama komite tersebut adalah Komite Anti-Dumping Indonesia atau biasa disebut KADI, yaitu suatu lembaga yang bertugas menangani kegiatan penyelidikan Anti dumping dan Antisubsidi. Komite Anti-Dumping Indonesia dibentuk melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136/MPP/Kep/6/1996 tanggal 4 Juni 1996, yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 430/MPP/Kep/10/1999, dan selanjutnya disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000. Dengan Keputusan ini disebutkan bahwa KADI bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan upaya menanggulangi importasi
barang dumping dan barang mengandung subsidi yang dapat menimbulkan kerugian (injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.
Komite tersebut bertugas :
1.  melakukan penyelidikan terhadap barang  dumping  dan barang mengandung subsidi
2.  mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi
3.  mengusulkan  pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan
4.  melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan
5.  membuat laporan pelaksanaan tugas
Tahap pertama dari proses Anti Dumping adalah penyelidikan oleh Komite Anti Dumping yang dilaksanakan  oleh Tim Operasional Anti Dumping (TOAD) atas  barang impor yang diduga sebagai barang Dumping dan/atau barang mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian. Bagi industri dalam negeri inisiatif untuk melakukan penyelidikan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif dari komite sendiri atau karena permohonan industri dalam negeri. Untuk mencegah  terjadinya  kerugian   selama    melakukan penyelidikan, komite  dapat mengusulkan kepada Menperindag untuk melakukan tindakan sementara. Tindakan sementara adalah tindakan berupa pengenaan  Bea Masuk  Anti dumping  Sementara atau Bea Masuk Imbalan Sementara.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar