Sabtu, 11 Mei 2013
Sabtu, 02 Maret 2013
Hukum dagang
Hukum dagang
ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan
untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara
manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis
tentang aturan perdagangan.
Perkembangan Hukum Dagang di Dunia
Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .
Tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hukum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan
Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan .
KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran
Perkembangan Hukum Dagang di Dunia
Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .
Tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hukum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan
Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan .
KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran
Selama ini definisi
hukum dagang hanya mengacu pada beberapa pendapat sarjana hukum, seperti
berikut ini: (1). Soekardono, mengatakan hukum dagang adalah bagian dari hukum
perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan
perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, hukum
dagang adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang
dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam
kodifikasi KUHD dan KUHPerdata. (2). HMN. Purwosutjipto, mengatakan hukum
dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. (3).
Achmad Ichsan, mengatakan hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal
perdagangan yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam
perdagangan atau perniagaan. (4). Fockema Andreae (Kamus Istilah Hukum
Belanda-Indonesia), mengatakan hukum dagang atau Handelsrecht adalah
keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas
perdagangan, sejauhmana diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan.
HUKUM DAGANG
INTERNASIONAL (BAB I RUANG LINGKUP HUKUM DAGANG INTERNASIONAL)
A. Pendahuluan
Hukum perdagangan internasional
merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini
cukup luas. Hubungan–hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup
banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli
barang atau komoditi hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak
disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi ) sehingga
transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung cepat. Batas-batas Negara bukan
lagi menjadi halangan dalam bertransaksi. Ada beberapa motif atau alasan
mengapa Negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi
dagang internasional. Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional
juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak
abad ke 17. salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang sadar
akan pentingnya dagang ( pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku
Bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu Bugis yang kecil
telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya ( sekarang menjadi wilayah
Singapura dan Malaysia). Esensi untuk bertransaksi dagang ini merupakan dasar
filosofis dari munculnya perdagangan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa berdagang ini merupakan suatu “kebebasan fundamental” (fundamental
freedom). Dengan kebebasan ini, siapa saja harus memiliki kebebasan untuk
berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama,
suku, kepercayaan, politik, sistem hukum dan lain-lain. Piagam hak-hak dan
kewajiban Negara (charter of economic right and duties of state)
juga mengakui bahwa setiap Negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan
internasional.
B. Definisi Hukum
Dagang Internasional
Walaupun perkembangan bidang hukum
berjalan dengan cepat, namun ternyata masih belum ada kesepakatan tentang
definisi untuk bidang hukum dagang internasional ini. Hanya dewasa ini terdapat
berbagai definisi mengenai hukum dagang internasional yang satu sama lain
berbeda.
1. Definisi Schmitthoff
Schmitthoff mendefinisikan hukum
perdagangan internasional sebagai ;” ….the body of rules governing
commercial relationship of a private law nature involving different nations”
Dari definisi tersebut tampak unsur-unsur
sebagai berikut :
1) hukum perdagangan internasional
adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan hubungan komersial yang
sifatnya hukum perdata.
2) Aturan-aturan hukum tersebut
mengatur transaksi-transaksi yang berbeda Negara. Definisi di atas menunjukkan
dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial, artinya
Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (private law nature
) dan hukum publik.
Dalam definisinya, Schmitthoff
menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum dagang internasional tidak termasuk
hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Dengan kata
lain Schmitthoff menegaskan bahwa wilayah hukum perdagangan internasional tidak
termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang
mengatur hubungan-hubungan komersial, misalnya aturan-aturan hukum
internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau
aturan-aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan-aturan yang
mengatur komoditi, dan lain sebagainya. Dari latar belakang definisi tersebut
berdampak pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff
menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum dagang
internasional seperti :
a. jual beli dagang internasional, yang
meliputi pembentukan kontrak, mengatur tentang perwakilan-perwakilan dagang,
pengaturan penjualan eksklusif;
b. surat-surat berharga;
c. hukum mengenai kegiatan-kegiatan
tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional;
d. asuransi;
e. pengangkutan melalui darat dan
kereta api, laut udara dan perairan pedalaman;
f. hak milik industri;
g. arbitrase komersial
2. Definisi M. Rafiqul Islam
Dalam upayanya memberi batasan atau
definisi hukum perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan
erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan (financial
relations). Hubungan financial terkait erat dengan perdagangan
internasional. Keterkaitan erat ini tampak karena hubungan-hubungan keuangan
ini mendampingi transaksi perdagangan antara para pedagang (dengan pengecualian
transaksi barter atau counter trade). Dengan adanya keterkaitan erat
antara perdagangan internasional dan keuangan (international trade and
finance law), Rafiqul Islam mendefinisikan hukum perdagangan dan keuangan
sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktik yang menciptakan
suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-transaksi
perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak
terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Kegiatan-kegiatan
komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan komersial yang berada dalam
ruang lingkup hukum perdata internasional atau conflict of law;
perdagangan antar pemerintah atau antar Negara yang diatur oleh hukum internasional
publik. Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi batasan perdagangan internasional
sebagai : “……. A wide ranging, transnational, commercial exchange of
goods and services between individual business persons, trading bodies
and states”. Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum
perdagangan internasional sangat luas. Karena ruang lingkup kajian bidang hukum
ini sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekwensinya adalah
terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda.
3. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lain yang mencoba memberi
batasan bidang hukum dagang internasional
adalah Sanson, seorang sarjana dari
Australia. Hukum Perdagangan Internasional
menurut definisi Sanson adalah :” …
Can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the
exchange of goods, services and technology between nations”
Sanson tidak menyebut secara jelas
bidang hukum dagang internasional ini jatuh ke bidang hukum privat, publik,
atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the
regulation of the conduct of parties. Meskipun Sanson memberi definisi yang
mengambang, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini kedalam dua
bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public
international trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private
international trade law). Public international trade law adalah
hukum yang mengatur perilaku dagang antar Negara. Sementara itu private
international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara
orang perorangan di Negaranegara yang berbeda.
4. Definisi Hercules Booysen
Booysen seorang sarjana dari Afrika
selatan tidak memberikan definisi secara tegas. Booysen menyadari bahwa ilmu
hukum sangatlah kompleks. Oleh karena itu upaya untuk membuat definisi bidang
hukum termasuk hukum perdagangan internasional sangatlah sulit dan jarang
tepat. Oleh karena itu upayanya untuk memberi definisi, Booysen hanya
mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional.
Menurut Booysen ada tiga unsur, yaitu :
1. hukum perdagangan internasional
dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international
trade law may also be regarded as a specialized branch of international
law).
2. hukum perdagangan internasional adalah
aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang,
jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) (International
trade law can be described as those rules of international law which are
applicable to trade in goods, services and the protection of
intellectual property).
3. hukum perdagangan internasional
terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung
terhadap perdagangan internasional secara umum.
C. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
Di bagian awal tulisan ini tampak
luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional. Luasnya bidang cakupan
dalam hukum perdagangan internasional membuat cakupan yang dikajinya sulit
untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya, misalnya dengan hukum
ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial
internasional, dan lain-lain. Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas
di antara hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain, khususnya hukum ekonomi
internasional. Sementara itu pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua
bidang hukum ini adalah dengan melihat subjek hukum yang tunduk kepada kedua
bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasional lebih banyak mengatur subjek
hukum yang bersifat publik, sedangkan hukum perdagangan internasional lebih
menekankan kepada hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum
privat. Dalam kenyataannya, pendapat tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi
internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau
transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan
privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi
perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur
subjek-subjek hukum publik atau Negara, namun aturan-aturan tersebut
bagaimanapun juga akan berdampak pada individu atau subjek-subjek hukum lainnya
dalam wilayah suatu
Negara. Karakterisitk lain dari hukum
perdagangan internasional adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk
dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak
bantuan disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan bidang
pengangkutan (darat, udara dan laut). Hal ini membutuhkan bantuan dari pemahaman
disiplin ilmu pelayaran.
D. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum
Perdagangan Internasional
Menurut Profesor Alexander Goldstajn
ada tiga prinsip dalam Hukum Perdagangan Internasional, yaitu :
1. Prinsip dasar Kebebasan berkontrak
Prinsip kebebasan berkontrak sebenarnya
merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap
sistem hukum dalam hukum dagang mengakui kebebasan para pihak untuk membuat
kontrak-kontrak dagang (internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif
kebebasan berkontrak ini dengan menyatakan :
“The autonomy of the parties will in
the law of contract is the foundation on which an autonomous law of
international trade can be built. The national sovereign has,”. No objection
that in that area an autonomous law of international trade is developed by the
parties, provided always that law respects in every national jurisdiction the
limitations imposed by public policy”
Kebebasan ini mencakup bidang hukum
yang cukup luas, meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang
disepakati oleh para pihak. Dalam prinsip kebebasan berkontrak ini termasuk
pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya serta
mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak
yang dibuatnya. Sudah barang tentu kebebasan ini tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan dan persyaratan
lain yang ditetapkan oleh masing-masing system hukum.
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
Prinsip Pacta sunt servanda adalah
prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah
ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik).
Prinsip ini berlaku secara universal.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa
melalui Arbitrase
Arbitrase dalam perdagangan
internasional adalah merupakan forum penyelesaian sengketa yang umum digunakan.
Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak
dagang. Goldstajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase
dijadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional, yaitu :
“Moreover to the extent that the
settlement of defferences is referred to arbitration, a uniform legal order is
being created. Arbitration tribunals aften apply criteria other than those
applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely,
taking into account customs, usage and business practice.Futher, the fact that
the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the
enforcement of foreign court decisions is conducive
to ap preference for arbitration”
4. Prinsip Dasar Kebebasan komunikasi
(Navigasi)
Disamping tiga prinsip dasar tersebut,
prinsip dasarnya yang relevan dengan prinsip dasar yang dikenal dalam hukum
ekonomi internasional, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam
pengertian luas, termasuk didalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau
navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang
dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi,
baik darat, laut, udara, atau melalui media sarana elektronik. Kebebasan
komunikasi ini bersifat sangat esensial bagi terlaksananya perdagangan
internasional.
Dalam komunikasi untuk maksud berdagang
ini, kebebasan para pihak tidak boleh dibatasi oleh system ekonomi, politik
atau system hukum.
E. Tujuan Hukum Perdagangan
Internasional
Tujuan hukum perdagangan internasional
sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs
and Trade, 1974), yang termuat dalam pembukaannya. Adapun tujuan dari hukum
perdagangan internasional adalah :
1. untuk mencapai perdagangan internasional
yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik perdagangan
nasional yang merugikan Negara lain;
2. untuk meningkatkan volume
perdagangan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan
bagi pembangunan ekonomi semua Negara;
3. meningkatkan standar hidup umat
manusia; dan
4. meningkatkan lapangan kerja;
5. mengembangkan system perdagangan
multilateral;
6. meningkatkan pemanfaatan
sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli
barang.
Meskipun adanya tujuan dalam hukum
perdagangan internasional tersebut di atas bagus, namun hukum perdagangan
internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut dapat
ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian
atau klausul-klausul “penyelamat’ yang bersifat memperlonggar
kewajiban-kewajiban hukum.
Kelemahan spesifik tersebut :
a. hukum perdagangan internasional
sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif.
Hal ini mengakibatkan aturan-aturan
hukum perdagangan internasional kurang objektif didalam “memaksakan”
Negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataanya, Negara-negara yang
memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana
kebijakan politisnya.
b. Aturan-aturan hukum perdagangan
internasional bersifat mendamaikan dan persuasive (tidak memaksa). Kelemahan
ini sekaligus juga merupakan kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan
internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah
krisis.
F. Perkembangan Hukum Perdagangan
Internasional
Hukum perdagangan internasional telah
ada sejak lahirnya Negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan
internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan
perkembangan hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat dari perkembangan sumber
hukumnya (dalam arti materiil), perkembangan hukum perdagangan internasional
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap, yaitu :
1. Hukum Perdagangan internasional
dalam Masa Awal Pertumbuhan
2. Hukum Perdagangan Internasional Yang
Dicantumkan dalam hukum Nasional
3. Lahirnya Aturan-aturan Hukum
Perdagangan Internasional dan Munculnya
Lembaga-lembaga Internasional yang
Mengurusi Perdagangan Internasional
HUKUM DAGANG INTERNASIONAL
(BAB II SUBJEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)
A. Pendahuluan
Dalam aktivitas perdagangan
internasional terdapat beberapa subjek hukum yang berperan penting di dalam
perkembangan hukum perdagangan internasional.
Dalam hukum perdagangan internasional,
yang dimaksud dengan subjek hukum adalah :
1. para pelaku (stakeholders)
dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya
di hadapan badan peradilan, dan
2. para pelaku (stakeholders)
dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan
aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.
B. Subjek Hukum Perdagangan
Internasional
Sebagaimana telah diuraikan di atas,
bahwa subjek hukum dalam hukum perdagangan internasional adalah :
A. Negara
Negara merupakan subjek hukum
terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Negara merupakan subjek
hukum yang paling sempurna, alasannya :pertama, Negara merupakan
satu-satunya subjek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini,
Negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang
masuk dan keluar dari wilayahnya. Dengan atribut kedaulatannya ini, Negara
antara lain berwenang untuk membuat hukum (regulator) yang mengikat
segala subjek hukum lainnya (individu, perusahaan), mengikat benda dan
peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya termasuk perdagangan. Kedua,
Negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional didunia misal,
WTO, UNCTAD,UNCITRAL. Ketiga, Negara juga bersama-sama dengan Negara
lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan. Keempat,
Negara berperan juga sebagai subjek hukum dalam posisinya sebagai pedagang.
Dalam posisinya ini, Negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan
internasional. Ketika Negara bertransaksi dagang dengan Negara lain,
kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional. Ketika
Negara bertransaksi dengan subjek hukum lainnya, hukum yang mengaturnya adalah
hukum nasional (dari salah satu pihak).
Imunitas Negara
Salah satu masalah yang kerap timbul
dalam kaitannya dengan Negara
adalah atribut kedaulatan Negara itu
sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah
bahwa dengan atribut kedaulatan, Negara
memiliki imunitas terhadap pengadilan
Negara lain. Arti imunitas disini
adalah bahwa Negara tersebut memiliki hak
untuk mengklaim kekebalannya terhadap
tuntutan (klaim) terhadap dirinya.
Sheldrick dengan tepat menggambarkan
imunitas Negara sebagai berikut :
“Savereign immunity is a long
established precept of public international law
which requires that a foreign
government or head of state cannot be sued without its consent. In its
traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil,
including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the
foreign sovereign”
Dalam perkembangannya, konsep imunitas
ini mengalami pembatasan.
Minimal ada 4 (empat) pembatasan
terhadap muatan imunitas suatu Negara, yaitu
pertama,
pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum
internasional mengakui imunitas Negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya.
Hukum internasional juga mensyaratkan Negara-negara untuk bekerjasama dengan
Negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum
internasional antara lain menyatakan bahwa ; … States have the duty
to co operate with one another, irrespective of the difference in their
political, economic and social system,…
Kedua, pembatasan oleh
hukum nasional. Dewasa ini beberapa Negara memiliki undang-undang mengenai
imunitas yang sifatnya membatasi imunitas Negaranegara (asing) yang melakukan
transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Ketiga,
pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi
ketika suatu Negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan
peradilan yang mengadili persidangan dan Negara tersebut mematuhinya, Negara
tersebut dianggap telah
dengan sukarela menanggalkan
imunitasnya. Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasan
imunitas ini adalah apabila Negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam
kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa Negara tersebut telah
menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya
untuk menyelesaikan sengketa dagangnya. Dengan adanya pembatasan-pembatasan
tersebut, kekebalan suatu Negara untuk hadir dihadapan badan peradilan
(nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun,
masalah sesungguhnya dalam kaitannya dengan pembatasan Negara di hadapan badan
peradilan adalah pelaksanaan
putusan pengadilannya. Berdasarkan
hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik
Negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik Negara lain yang
digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik. Hukum internasional
melarang suatu Negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di
pelabuhan suatu Negara asing atau menyita bangunan kedutaan Negara asing.
Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap
aset-aset yang Negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan public.
B. Organisasi Perdagangan Internasional
Organisasi internasional yang bergerak
di bidang perdagangan internasional memainkan peran yang penting. Organisasi
internasional dibentuk oleh dua atau lebih Negara guna mencapai tujuan bersama.
Untuk mendirikan suatu organisasi internasional, perlu dibentuk suatu dasar
hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian
internasional ini termuat tujuan, fungsi dan struktur organisasi perdagangan
internasional yang bersangkutan.
C. Individu
Individu atau perusahaan adalah pelaku
utama dalam perdagangan internasional. Individulah yang pada akhirnya akan
terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu,
aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh Negara memiliki tujuan untuk
memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.
Di banding dengan Negara atau
organisasi internasional, status individu dalam hukum perdagangan internasional
tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subjek hukum
dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature).
Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan
arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas, karena, pertama,
sengketanya hanya dibatasi untuk sengketasengketa di bidang penanaman modal
yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.
Kedua, Negara dari
individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk menjadi anggota
konvensi ICSID ( Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini bersifat mutlak.
Indonesia telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap konvensi ICSID
melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968. Status individu sebagai subjek hukum
perdagangan internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan
di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki keuatan
mengikat seperti halnya hukum nasional. Disebutkan di atas bahwa individu
adalah subjek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private
law nature). Subjek hukum lainnya yang
termasuk ke dalam kategori ini adalah
(a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.
1. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational
Corporations) telah lama diakui sebagai subjek hukum yang berperan penting
dalam perdagangan internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan
financial yang dimilikinya. Dengan kekuatan finansialnya hukum (perdagangan)
internasional berupaya mengaturnya.
Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan
Kewajiban Ekonomi Negara-negara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh
campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu Negara. Pasal 2
(2) (b) antara lain berbunyi ; …. Transnational corporation shall not
intervene is the internal affairs of a host State”
Alasan pengaturan ini tampaknya masuk
akal. Tidak jarang MNCs sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi
politik dan ekonomi suatu Negara. Aturan-aturan yang mengontrol aktivitas MNCs
memang perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara Negara tuan rumah
yang mengharapkanMNCs masuk kedalam wilayahnya dapat memberi kontribusi bagi
pembangunan, sementara MNCs bertujuan untuk mencapai target utama perusahaan,
yaitu mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya. Oleh karena itu, agar kedua
kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan
hukum untuk menjembataninya.
2. Bank
Seperti individu atau MNCs, bank dapat
digolongkan sebagai subjek hukum perdagangan internasional dalam arti terbatas.
Bank tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan.
Faktor-faktor yang membuat subjek hukum
ini penting adalah :
a. peran bank dalam perdagangan
internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan
internasional mungkin tidak dapat berjalan.
b. Bank menjembatani antara penjual dan
pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di
Negara yang penjual dan pembeli.
c. Bank berperan penting dalam
menciptakan aturan-aturan hukum perdagangan internasional, khususnya dalam
mengembangkan hukum perbankan internasional.
HUKUM DAGANG
INTERNASIONAL (BAB III SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)
A. Pendahuluan
Sumber hukum perdagangan internasional
merupakan bab yang penting. Dari sumber hukum inilah kita dapat menemukan hukum
tersebut yang kemudian diterapkan kepada suatu fakta tertentu dalam perdgangan
internasional.
B. Sumber Hukum Perdagangan
Internasional
Sumber-sumber hukum internasional yang
dkenal dalam perdagangan internasional yaitu perjanjian internasional, hukum
kebiasaan internasional, prinsipprinsip hukum umum dan putusan-putusan
pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin).
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan
salah satu sumber hukum yang terpenting.
Secara umum, perjanjian internasional
terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanian multilateral, regional dan
bilateral. Perjanjian internasional atau multilateral adalah kesepakatan
tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (Negara) dan tundak pada aturan
hukum internasional. Perjanjian regional adalah kesepakatan-kesepakatan di
bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh Negara-negara yang tergolong
atau berada dalam suatu regional tertentu. Suatu perjanjian dikatakan bilateral
ketika perjanjian tersebut hanya mengikat dua subjek hukum internasional
(Negara atau organisasi internasional).
a. Daya mengikat Perjanjian (Perdagangan
Internasional)
Suatu perjanjian perdagangan
internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh
karena itu, sebagaimana halnya perjanjian intenasional pada umumnya, perjanjian
perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu Negara apabila Negara
tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya. Ketika suatu Negara
telah meratifikasinya, Negara tersebut berkewajiban untuk mengundangkannya ke
dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian internasional yang telah
diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional Negara
tersebut. Kadangkala perjanjian internasional membolehkan suatu Negara untuk
tidak menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari
perjanjian internasional, atau sebaliknya. Salah satu cara lain bagi suatu
Negara untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui
penundukan secara diam-diam, artinya tanpa mengikatkan diri secara tegas
melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrument ratifikasi
tersebut didepositokan kepada suatu badan yang berwenang, missal Sekjen PBB),
suatu Negara dapat saja mengikatkan dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu
perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
b. Isi Perjanjian
Muatan yang terkandung didalam
perjanjian perdagangan internasional pada umumnya memuat, hal-hal berikut :
1. Liberalisasi perdagangan
Perjanjian yang memuat liberalisasi
perdagangan adalah meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, Negara-negara
anggota perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan
pengaturan atau kebijakan (Negara) yang dapat menghambat atau mengganggu
kelancaran transaksi perdagangan internasional.
2. Integrasi Ekonomi
Perjanjian internasional berupaya
mencapai suatu integrasi ekonomi melalui pencapaian kesatuan kepabeanan (customs
union), suatu kawasan perdagangan bebas (free trade zone), atau
bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian seperti ini
biasanya memberi kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai
tujuan integrasi ekonomi.
3. Harmonisasi Hukum
Tujuan utama harmonisasi hukum hanya
berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat
fundamental dari berbagai system hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan)
4. Unifikasi Hukum
Dalam unifikasi hukum, penyeragaman
mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum
yang baru.
5. Model Hukum dan Legal Guide
Pembentukan model hukum dan legal
guide sebenarnya tidak lepas dari upaya harmonisasi. Bentuk hukum seperti
ini biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan
disepakati atau diatur. Oleh karena itu, mereka membuat model hukum ini yang
sifatnya tidak mengikat.
c. Standar Internasional
Standar internasional adalah
norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam perjanjian internasional, yang
merupakan syarat penting didalam tata ekonomi internasional, serta syarat suatu
Negara untuk berpartisipasi di dalam transaksi ekonomi internasional.
Syarat-syarat dasar tersebut adalah :
1.) Minimum Standard atau Equitable
Treatment
Minimum Standart adalah norma atau
aturan dasar yang semua Negara harus taati untuk dapat turut serta dalam
transaksi-transaksi perdagangan internasional. Contoh standar minimum adalah
dalam perjanjian-perjanjian dalam bidang perlindungan hak kekayaan intelektual.
2.) Most Favoured Nation Clause
Klausul most favoured nation adalah
klausul yang mensyaratkan perlakuan non diskriminasi dari suatu Negara terhadap
Negara lain. Menurut Houtte, klausul MNF biasanya diikuti oleh dua sifat cukup
penting, yaitu :
a. reciprocal (timbal
balik), artinya pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing
Negara. Jadi sifatnya timbal balik dan;
b. unconditional (tidak
bersyarat), artinya Negara anggota lainnya dalam suatu perjanjian berhak atas
perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada Negara ketiga.
3). Equal Treatment
Equal Treatment (perlakuan sama) adalah
klausul lainnya yang harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional.
Menurut klausul ini, Negara-negara peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan
untuk memberikan perlakuan yang sama satu sama lain.
4). Preferential Treatment
Prinsip ini biasanya diterapkan
diantara Negara-negara yang memiliki hubungan politis atau ekonomis. Berdasarkan
prinsip ini, suatu Negara dapat saja memberikan perlakuan khusus yang lebih
menguntungkan (preferential treatment) kepada suatu Negara daripada
kepada Negara lainnya.
d. Resolusi-Resolusi Organisasi
Internasional
Dewasa ini berbagai organisasi
internasional acap kali mengeluarkan keputusan-keputusan berupa
resolusi-resolusi yang sifatnya tidak mengikat. Daya mengikat resolusi-resolusi
ini biasanya disebut juga sebagai soft law, karena memang Negara-negara
pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dibuat oleh organisasi
internasional tidak mengikat mereka secara hukum. Akan tetapi, resolusiresolusi
yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadangkala juga mengikat.
2. Hukum Kebiasaan Internasional
Sebagai sumber hukum, hukum kebiasaan
perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum
yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dalam studi
hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex
mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants).
Istilah ini logis karena memang para pedaganglah yang mula-mula “menciptakan”
aturan hukum yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka.
Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum.
Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syaratsyarat
sebagai berikut : a) suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti
oleh lebih dari dua pihak (praktek Negara), b) praktek ini diterima sebagai
mengikat (opnio iuris sive necessitates).
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Sebenarnya belum ada pengertian yang
diterima luas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum
umum. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir, baik dari system hukum
nasional maupun hukum internasional.
Sumber hukum ini akan mulai berfungsi
ketika hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak
memberikan jawaban atas suatu persoalan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip hukum
umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan
hukum, termasuk hukum perdagangan internasional.
Beberapa contoh dari prinsip-prinsip
hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt
servanda, dan prinsip ganti rugi. Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui
dalam hampir semua sistem hukum di dunia, dan terdapat pula dalam hukum
(perdagangan internasional).
4. Putusan-Putusan Badan pengadilan dan
Doktrin
Sumber hukum ini akan memainkan
perannya apabila sumber-sumber hukum sebelumnya tidak memberi kepastian atau
jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional).
Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak memiliki
kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common Law.
Statusnya paling tidak sama seperti yang kita kenal dalam system hukum
continental, bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk mempertimbangkan.
Jadi ada semacam kewajiban yang tidak mengikat bagi badanbadan pengadilan untuk
mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang
terkait dengan perdagangan internasional). Begitu pula dengan doktrin, yaitu
pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam bidang hukum
dagang internasional). Peran dan fungsinya cukup penting dalam menjelaskan
sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin dapat pula digunakan
untuk menemukan hukum. Doktrin ini penting ketika sumber-sumber hukum
sebelumnya ternyata tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu
hal di bidang perdagangan internasional.
5. Kontrak
Sumber hukum perdagangan internasional
yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau
kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri.
Para pelaku perdagangan (pedagang) atau
stakeholders dalam hukum perdagangan internasional ketika melakukan
transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam
perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat
essensial. Dengan demikian, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu
dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan
kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam kontrak kita mengenal
penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak
syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya
diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang
tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan para pihak sangatlah essensial,
namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya, yaitu ;
(1) pembatasan yang umum adalah
kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam
taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan,
(2) status dari kontrak itu
sendiri. Kontrak dalam perdagangan
internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsure asingnya,
artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional paling
tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu Negara tertentu),
(3) menurut Sanson, pembatasan lain
yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau
kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang
bersangkutan..
6. Hukum Nasional
Peran hukum nasional sebagai sumber
hukum perdagangan internasional mulai lahir ketika timbul sengketa sebagai
pelaksanaan dari kontrak. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari
sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum
nasional lahir dari adanya yurisdiksi (kewenangan) Negara. Kewenangan Negara
ini sifatnya mutlak dan eksklusif, artinya apabila tidak ada pengecualian lain,
kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat. Yurisdiksi atau kewenangan tersebut
adalah kewenangan suatu Negara untuk mengatur segala, (a) peristiwa hukum; (b)
subjek hukum; (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur
ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun
hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa
transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang internasional.
Dalam hal ini, hukum
nasional yang dibuat suatu Negara dapat
mencakup hukum perpajakan, kepabeanan,
ketenagakerjaan, persaingan sehat,
perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor
impor suatu produk. Kewenangan atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders)
dalam perdagangan intenasional, mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan
meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk
perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan
(dalam hal perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur
atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan
objek-objek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan,
termasuk didalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap
membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan
lain-lain.
HUKUM DAGANG
INTERNASIONAL (BAB IV PEMASARAN BARANG-BARANG KE LUAR NEGERI)
A. Pendahuluan
Melaksanakan perdagangan luar negeri
pada hakekatnya berarti menyelenggarakan fungsi-fungsi marketing (pemasaran)
pada tingkat internasional. Salah satu faktor yang ingin dikemukakan di sini
adalah bahwa di dalam perdagangan luar negeri, produsen dan konsumen satu sama
lainnya dipisahkan oleh batas kenegaraan (geopolitik). Oleh karena itu perlu
sekali dicari cara yang tepat dan penetapan saluran yang akan dipergunakan
untuk memungkinkan adanya hubungan antara produsen di satu pihak dengan
konsumen atau pemakai di lain pihak. Produsen pada umumnya merupakan pihak yang
aktif dalam usahanya melaksanakan pemasaran barang yang dihasilkan kepada
konsumen, tetapi sebaliknya bukan hal yang mustahil pula jika konsumen yang
bertindak aktif mencari barang yang dibutuhkannya dengan cara mendekati sendiri
produsen dari barang yang dibutuhkan.
B. Cara-Cara Pemasaran Barang Ke Luar
Negeri
Lazimnya produsenlah yang biasanya
bertindak aktif, maka dipandang dari sudut produsen terutama dalam melaksanakan
pemasaran barang-barang ke luar negeri, produsen dapat menempuh beberapa cara
yang dapat digolongkan dalam 2 golongan, yaitu :
1. cara pemasaran langsung
Dengan cara pemasaran langsung
dimaksudkan produsen menyelenggarakan sendiri pemasaran hasil produksinya itu
ke luar negeri, dalam arti di samping sebagai produsen, ia juga bertindak
sebagai eksportir pula. Oleh karena itu di samping tugasnya sebagai produsen,
maka ia pun berkewajiban dan bertanggungjawab menyelenggarakan hal-hal sebagai
berikut :
a. Menyiapkan barang sampai menjadi
barang siap untuk diekspor (ready for
export).
Antara lain melakukan penyortiran, pengepakan, penyimpanan di gudang,
menyelenggarakan pengangkutan ke pelabuhan.
b. Mencari sendiri pembeli di luar
negeri.
c. Melakukan urusan pengapalan barang (shipping).
d. Menyelesaikan formalitas ekspor
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e. Melakukan penutupan asuransi.
f. Menyiapkan dokumen pengapalan (shipping
document)
g. Mengurus sendiri penyelesaian pembayaran
dan lain-lain yang
bersangkutan dengan pelaksanaan ekspor.
h. Menyelenggarakan after sales
service (perawatan barang yang telah dijual)
Dengan cara pemasaran langsung ini
produsen bertanggungjawab atas keseluruhan transaksi ini mulai dari mempersiapkan
barang itu sampai barang tersebut diterima oleh konsumen, bahkan adakalanya
masih bertanggungjawab sekalipun barang itu sudah dalam kekuasaan dan menjadi
milik konsumen, misalnya keharusan menyelenggarakan after sales service.
2. cara pemasaran tidak langsung
Selain dari itu dalam melaksanakan
pemasaran barang ke luar negeri dapat pula ditempuh cara lain, yaitu dengan
mempergunakan jasa perantaraan badan usaha lain yang khusus bergerak dalam
perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor. Di sini dapat dikemukakan
beberapa macam badan usaha yang dapat
dipergunakan oleh produsen dalam
melakukan pemasaran hasil produksinya ke luar negeri, atau juga badan usaha
yang dapat dipergunakan oleh konsumen untuk menyelenggarakan pembelian
kebutuhannya (impor) dari luar negeri.
Badan usaha yang dipergunakan sebagai
perantara dalam perdagangan luar negeri
terdiri dari :
a. Ekspor/Impor Merchant
Ekspor/impor merchant atau pedagang
impor/ekspor adalah badan usaha baik perorangan maupun badan hukum yang
melakukan pembelian barang di dalam negeri atas risiko sendiri untuk dijual ke
luar negeri, ataupun melakukan pembelian barang dari luar negeri dan dimasukkan
(impor) ke dalam negeri untuk dijual kembali atas risikonya sendiri. Keuntungan
bagi produsen memilih memasarkan barangnya dengan dengan cara ini adalah :
1). Produsen tidak perlu lagi
mengeluarkan biaya untuk keperluan market survey, biaya promosi barangnya (sales
promotion cost).
2). Tidak perlu lagi menyediakan aparat
khusus untuk menyelenggarakan ekspornya.
3). Tidak perlu lagi menanggung risiko
perdagangan luar negeri seperti pelunasan pembayaran dan risiko tuntutan ganti
rugi (claims).
b. Confirming House, Export Commission
House atau Indent House.
Ekspor/impor Merchant merupakan badan
usaha dalam negeri 9nasional0 yang bergerak untuk pemasaran barang di luar
negeri. Tetapi sebaliknya ada pula, dimana perusahaan asing yang membuka kantor
cabangnya atau mendirikan anak cabang perusahaan di dalam negeri. Kantor cabang
atau anak perusahaan luar negeri yang demikian, bekerja atas perintah dan untuk
kepentingan kantor induknya yang berada di luar negeri. Pada umumnya
kantor-kantor cabang ini melakukan pembelian di dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan kantor induknya, ataupun untuk keperluan konsumen di negeri asalnya
dengan mendapatkan komisi. Oleh karena itu badan usaha yang demikian bisa
disebut sebagai confirming house atau indent house. Oleh karena
kantor cabang atau anak perusahaan yang demikian biasanya melakkan pembelian
hasil hasil produksi setempat (lokal) yang kemudian diangkut ke negeri asalnya,
maka kesempatan ini dapat pula dipergunakan oleh para produsen setempat untuk
secara tidak langsung mengekspor hasil
produksinya ke luar negeri baik sebagai
transaksi local biasa maupun atas dasar komisi. Berdasarkan uraian tersebut,
maka badan usaha ini disebut juga export commission house. Di dalam
praktek tidak ada perbedaan yang pokok antara export merchant dan confirming
house, sebab kedua badan usaha ini sama bertindak sebagai eksportir. Hanya
export merchant bekerja dan lebih mengutamakan kepentingan produsen sebab
keuntungan dari export merchant itu, bahkan kelangsungan hidupnya sangat
tergantung dari berhasil tidaknya badan usaha itu melaksanakan pemasaran barang
yang dihasilkan oleh produsen yang diselenggarakannya itu. Bilamana hubungan
antara produsen dengan export merchant itu tidak hanya sebagai principal
to principal biasa, tetapi suatu ikatan perjanjian keagenan (agency
agreement), maka dalam hal ini export merchant itu juga disebut sebagai
export agent. Sebaliknya confirming house bekerja dan bertindak untuk
kepentingan konsumen di luar negeri atau kalau dilihat dari sudut kepentingan
nasional maka perusahaan ini termasuk perusahaan setempat yang bekerja untuk
kepentingan asing.
c. Export/Import Company atau Trading
House
Di dalam praktek tidak terdapat
perbedan pokok antara badan-badan usaha yang bergerak sebagai perantara dalam
perdagangan luar negeri. Sebab tidak jarang suatu badan usaha bertindak dan
berfungsi baik sebagai export merchant, commission agent, maupun
sebagai importer. Oleh karena itu badan usaha yang bergerak dalam bidang
perdagangan luar negeri disebut sebagai perusahaan dagang impor/ekspor atau
juga disebut sebagai export dan import company, atau trading house yang
melaksankan perdagangan hamper segala macam barang, dan hamper ke setiap Negara
dan mempunyai organisasi dan jaringan perdagangan yang tersebar luas.
HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (TEORI DUMPING)
Pesatnya
dinamika perkembangan perdagangan Internasional menyisakan sejumlah
permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan Internasional itu
sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengkristal menjadi hambatan
yang dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan yang harmonis dalam hubungan
perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan internasional
antarnegara, komitmen dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair
merupakan tuntutan sangat penting yang tidak boleh diabaikan. Masalah terbesar
yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi adalah justru terkait
dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya
praktik dagang yang tidak sehat (unfair trade practices) dalam melaksanakan
aktivitas perdagangn Internasional.
Salah satu diantara bentuk praktek tidak sehat dalam perdagangan Internasional adalah dumping dan penerima subsidi negara. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan dumping dan subsidi negara? Apakah dumping akan menyebabkan kerugian? Bagaimana cara menanggulangi adanya kemungkinan praktek perdagangan tidak sehat seperti dumping? Dalam bab ini akan dijabarkan satu persatu mengenai dumping dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar seputar dumping.
Dumping adalah suatu keadaan dimana barang-barang yang diekspor oleh suatu Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktek curang yang dapat mengakibatkan distorsi dalam perdagangan Internasional.
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau negara ketiga.
Salah satu diantara bentuk praktek tidak sehat dalam perdagangan Internasional adalah dumping dan penerima subsidi negara. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan dumping dan subsidi negara? Apakah dumping akan menyebabkan kerugian? Bagaimana cara menanggulangi adanya kemungkinan praktek perdagangan tidak sehat seperti dumping? Dalam bab ini akan dijabarkan satu persatu mengenai dumping dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar seputar dumping.
Dumping adalah suatu keadaan dimana barang-barang yang diekspor oleh suatu Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktek curang yang dapat mengakibatkan distorsi dalam perdagangan Internasional.
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau negara ketiga.
Sedangkan
menurut Kamus Hukum Ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan
eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di
negarinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya,
praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak dan merugikan produsen
pesaing di negara pengimpor.
Ketika
terjadi praktek dumping, akibat yang kemudian muncul tidak selalu merugikan.
Bahkan sering juga terjadi praktek dumping justru merugikan pelaku dumping itu
sendiri. Karena harga jual yang terlalu murah tersebut tidak dapat menutupi
biaya produksi. Sehingga, dalam kasus seperti ini yang diuntungkan adalah
konsumen di Negara dimana praktek dumping itu terjadi. Jadi, yang berbahaya
adalah praktek dumping yang menimbulkan kerugian, tepatnya kerugian materil
atau material injury bagi produsen lokal. Dumping seperti inlah yang termasuk
kedalam persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya, terdapat dua bentuk
dumping, yaitu:
- Dumping yang bersifat perampasan (predatory dumping)
Yaitu
apabila perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk
sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan. Setelah mendapatkan
pelanggan tetap dan menyingkirkan pesaing, maka harga akan dinaikkan kembali.
Hal ini mirip dengan predatory pricing dalam mata kuliah Hukum Persaingan
Usaha, yang mana tindakan seperti ini jelas merupakan persaingan usaha yang
tidak sehat.
- Dumping yang dilakuakn terus-menerus (persistent dumping)
Biasanya
bentuk dumping ini tidak dilakukan karena pada dasarnya hanya akan
menguntungkan konsumen.
Praktik
dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara pengimpor,
praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang
sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor
yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan
barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar
barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti
pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis
dalam negeri.
Oleh
karena dapat merugikan bagi perekonomian Negara, maka dibuatlah seperangkat
praturan anti dumping dan antisubsidi untuk melindungi produsen lokal dan
tingkat perekonomian negara, aturan-aturan tersebut di Indonesia antara lain:
- Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
- Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping dan Bea Masuk Imbalan
Sedangkan
instrumen perlindungan Internasional terhadap dumping antara lain dalam Pasal
VI ayat 1 GATT 1947 yang memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang
GATT adalah dumping adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil,
baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan
pada pendirian industri domestik.
Menurut
John H. Jackson, tidak semua dumping dapat merugikan Negara importir dan
menguntungkan Negaranya, bahkan sebaliknya ada dumping yang dapat merugikan
produsen sendiri serta menguntungkan konsumen sebab konsumen dapat membeli
barang yang murah harganya. Jadi, menurut pasal VI GATT, hanya dumping yang
dapat merugikan Negara lain yang dilarang. Dan kerugian itu harus dibuktikan
secara objektif sebab tidak semua dumping dapat merugikan negara importir dan
menguntungkan negaranya.
Jika
suatu Negara terbukti telah menjual harga produknya di bawah harga normal dan
menimbulkan kerugian materil, pasal VI ayat 2 GATT mengatur masalah
tentang
margin dumping yang dapat diterapkan terhadap produk tersebut. Persetujuan atas
implementasi article VI GATT dikenal sebagai Anti-Dumping Agreement (ADA)
dimana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip-prinsip dasar dalam
Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi, ketentuan dan aplikasi
bea anti dumping.
Dalam
artikel VI GATT 1994 (pembaharuan GATT 1947), para anggota WTO dapat
membebankan/mengenakan anti dumping measures jika setelah investigasi sesuai
dengan persetujuan, suatu ketentuan dbuat, yaitu: (a) bahwa dumping sedang
terjadi, (b) bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama di negara
pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury dan (c) bahwa ada suatu
hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara keduanya.
Pada
penjabaran-penjabaran sebelumnya disebutkan bahwa praktek dumping menjadi tidak
sehat ketika menimbulkan kerugian secara materil. Sebenarnya keadaan yang
bagaimanakah yang dapat dikatakan mengalami kerugian materil? Dikatakan terjadi
kerugian atau injury apabila faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara
pengimpor mengalami kerugian secara materil. Misalnya, penurunan penjualan,
keuntungan, pangsa pasar, produktivitas, return on investment, atau utilisasi
kapasitas, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri, margin dumping,
pengaruh negatif pada cash flow, (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah,
pertumbuhan, kemmapuan meningkatkan modal, atau investasi. Tidak kesemua
gejala diatas harus dipenuhi kemudian dapat dikatakan sebagai kerugian materil.
Satu atau beberapa saja sudah dapat menjadi petunjuk yang mengidentifikasikan
adanya kerugian materil.
Hubungan
kausalitas adalah hubungan sebab akibat. Penentuan hubungan kasalitas dalam
perkara dumping ini sangat diperlukan. Karena, harus dibuktikan adanya hubungan
antara kerugian materil yang diderita dengan kegiatan dumping oleh negara lain.
Apakah kerugian materil tersebut memang disebabkan karena praktek dumping atau
memang ada faktor lain sehingga terjadi kerugian materil tersebut, misalnya
saja miss-management.
Hubungan
sebab akibat antara dumping dan kerugian materil dapat diketahui dengan
menganalisis volume impor dumping dan pengaruh imor dumping ada harga di pasar
domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin meningkat,
sedangkan pangsa pasar petisioner dan pangsa pasar imor lain semakin
menurun, volume impor dumping secara langsung turut mempengaruhi berkurangnya
pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor dumping berada dibawah
harga petisioner atau memotong harga petisioner, dan atau harga petisioner
mempunyai kecendrungan menurun secara terus menerus selama periode tiga tahun
karena tekanan harga impor dumping dan atau petisioner tidak dapat menjual
harganya di atas biaya produksi, harga impor dumping secara langsung
mempengaruhi harga petisioner.
Terhadap
praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi berupa
pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan yang
terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 WTO AD Agreement mengatur
mengenai pengenaan BMAD. Dalam pasal ini dijelaskan tentang tata cara penentuan
besaran BMAD, diantaranya, badan yang berwenang menentukan besaran BMAD.
Di
Indonesia, terdapat suatu komite yang menjadi wadah untuk masalah dumping ini.
Nama komite tersebut adalah Komite Anti-Dumping Indonesia atau biasa disebut
KADI, yaitu suatu lembaga yang bertugas menangani kegiatan penyelidikan Anti
dumping dan Antisubsidi. Komite Anti-Dumping Indonesia dibentuk melalui
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136/MPP/Kep/6/1996
tanggal 4 Juni 1996, yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 430/MPP/Kep/10/1999, dan selanjutnya
disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 427/MPP/Kep/10/2000. Dengan Keputusan ini disebutkan bahwa KADI bertugas
menangani hal-hal yang berkaitan dengan upaya menanggulangi importasi
barang
dumping dan barang mengandung subsidi yang dapat menimbulkan kerugian (injury)
bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.
Komite
tersebut bertugas :
1.
melakukan penyelidikan terhadap barang dumping dan barang
mengandung subsidi
2.
mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi
3.
mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan
4.
melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan
Perdagangan
5.
membuat laporan pelaksanaan tugas
Tahap
pertama dari proses Anti Dumping adalah penyelidikan oleh Komite Anti Dumping
yang dilaksanakan oleh Tim Operasional Anti Dumping (TOAD) atas
barang impor yang diduga sebagai barang Dumping dan/atau barang mengandung subsidi
yang menyebabkan kerugian. Bagi industri dalam negeri inisiatif untuk melakukan
penyelidikan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif dari komite sendiri atau
karena permohonan industri dalam negeri. Untuk mencegah terjadinya
kerugian selama melakukan penyelidikan,
komite dapat mengusulkan kepada Menperindag untuk melakukan tindakan
sementara. Tindakan sementara adalah tindakan berupa pengenaan Bea
Masuk Anti dumping Sementara atau Bea Masuk Imbalan Sementara.
Langganan:
Postingan (Atom)